ETIKA
DAN MORAL
A. PENGERTIAN
ETIKA
Dalam
kamus besar bahasa indonesia dikatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam
kaitannya dengan kata etika tersebut, Bartens menjelaskan etika berasal dari
bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat
kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta
etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak inilah istilah etika terbentuk.
1. James
J. Spillane SJ mengungkapkan bahwa etika atau ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia
dalam mengambil keputusan moral.
2. Surahwadi
K. Lubis mengemukakan dalam istilah Latin, ethos
atau ethikos selalu disebut dengan mos, sehingga dari perkataan tersebut
lahirlah moralitas atau sering diistilahkan dengan perkataan moral. Lebih
lanjut ia menyatakan bahwa dalam bahasa agama Islam, istilah etika ini
merupakan bagian dari akhlak..
3. Abdullah
Salim mengatakan bahwa etika merupakan akhlak islami yang memiliki cakupan yang
sangat luas, yaitu menyangkut etos, etis, moral, estetika.
a. Etos
; mengatur hubungan manusia denga Tuhan.
b. Etis
; mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam
kegiatan sehari-hari.
c. Moral
; mengatur hubungan manusia yang menyangkut kehormatan tiap pribadi.
d. Estetika
; rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya
serta lingkungannya agar lebih indah dan menuju kesempurnaan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan yang mampu
membedakan hal-hal baik dan buruk.
Dalam perkembangannya, etika dapat dibagi menjadi
dua, etika perangai dan etika moral. Etika perangai adalah adat istiadat atau
kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di
daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Sementara etika moral berkenaan
dengan kebiassan berprilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika
ini dilanggar, timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak
benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Dalam perkataan sehari-hari, sring orang salah atau
mencampur adukkan antara etika dan etiket. Kata Etika berarti moral dan,
sedangkan etiket berarti sopan santun. Dengan kata lain etika adalah aturannya
dan etiket adalah pelaksanaannya.
Menyangkut etika dan etiket, pada prinsipnya
terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Bartens mengemukaakan bawha
terdapat empat perbedaan signifikan antara keduanya, yaitu :
1. Etika
menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Sedangkan
etiket adalah cara melakukannya.
2. Etika
berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang lain, sedangkan etiket hanya
berlaku dala pergaulan.
3. Etika
bersifat absolut, tidak dapat ditawar, sedangkan etiket bersifat relatif.
4. Etika
melihat manusia dari segi dalam (batiniah) sedangkan etiket memandang manusia
dari cara pergaulannya (yang tampak dari luar).
I.
Fungsi
Etika
Menurut
Darji Darmodihardjo, etika memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa kita ajukan. Pertama,
apakah yang harus dilakukan dalam situasi kongkret yang tengah dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola
konsistensi kita dengan orang lain? Ketiga,
akan menjadi manusia macam apa kita ini? Dalam konteks ini, etika berfungsi
sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini
tidak sampai bersifat tragis.
Menurut
Magnis Suseno mengemukakan bahwa etika berfungsi untuk membantu kita mencari
orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan molaritas yang membingungkan.
Di sini terlihat bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan
yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang
lebih mendasar.
Bertolak
dari fungsi etika sebagaimana diungkap oleh Magnis Suseno yang menyebutkan
bahwa etika berorientasi pada pesan moral, lalu bagaimana dengan peran agama
sebagai sebuah institusi yang mengajarkan pesan pesan moral? Sejalan dengan
pertanyaan ini, Frans Magnis Suseno mengemukakan ada empat alasan yang
melatarbelakanginya :
1. Etika
dapat membantu dalam menggali rasionalitas dari moral agama, sperti mengapa ada
perintah dan larangan dari agama.
2. Etika
membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling bertentangan
3. Etika
dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru
dalam kehidupan manusia.
4. Etika
dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional belaka, bukan pada wahyu.
Dari
beberapa paparan para ahli tentang fungsi etika dapat disimpulkan bahwa fungsi
etika secara umum adalah sebagai alat atau faktor yang membantu untuk
membimbing, alat penuntun dan alat kontrol manusia dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari dan mampu mendorong kita menjadi manusia yang berbudi pekerti
luhur.
B. PENGERTIAN
MORAL
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata “moral” memiliki arti ajaran tentang baik
buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak,
budi pekeerti, susila, kondisi mental yang membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.
Beranjak
dari pengertian moral di atas, pada prinsipnya moral merupakan alat penuntun,
pedoman, sekaligus alat kontrol yang paling ampuh dalam mengarahkan kehidupan
manusia.
Sejalan
dengan pengertian moral yang telah disebutkan di atas, Bartens sebagaimana
dikutip oleh Kadir Muhamad, mengatakan bahwa kata yang paling dekat dengan “etik” adalah “moral”.
Kata ini berasal dari bahasa latin “mos”,
jamaknya “mores” yang juga berarti
adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan kata moral yang
sama-sama memiliki arti adat kebiasaan, tetapi yang membedakannya hanya
terdapat pada bahasa asalnya dimana etika
berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral
berasal dari bahasa Latin.
Dengan
merujuk pada arti kata etika yang sesuai , maka arti kata moral sama dengan
arti kata etika, yaitu nili-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
seseorang dalam megatur tingkah lakunya.
1. Faktor
Penentu oralitas
Pada
prinsipnya manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa memiliki sikap yang baik,
namun dalam perjalanan hidupnya akan mengalami suatu proses pasang suru,
sehingga manusia itu akan terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak sesuai
dengan perintah Tuhan. Dengan demikian, manusia yang masih memiliki akhlak yang
baik, dapat dikatak masih memiliki moral yang baik. Dalam tataran terminologi
agama dan filsafat, orang yang memiliki moral yang baik, sering diistilahkan
dengan atau masih memiliki “moralitas”
yang baik. Liliana Tedjosaputro membagi moralits ke dalam dua bagian, yakni (1)
moralitas dapat bersifat intrinsik berasal dari manusia itu sendiri sehingga
perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak dipengruhi oleh
peraturran hukum yang ada. Moralitas intrinsik ini esensinya terdapat dalam
perbuatan diri manusi aitu sendiri; (2) moralitas yang bersifat ekstrinsik
penilainnya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat
perintah atau larangan. Namun pada sisi lain, Immanuel Kant sebagaiman yang
diterjemahkan oleh Lili Tjahjadi, membedakan moralitas menjadi dua : (1)
moralitas hotronom, sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan
karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena melainkan karena sesuatu yang
berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, misalnya karna mau mencapai
tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan takut pda penguasa yang memberi
tugas kewajiban itu; (2) moralitas otonom,
kesdaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai suatu yang
dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai hal yang baik.
Sementara
itu, Sumaryono mengemukakan tiga faktor penentu moralitas perbuatan manusia,
yaitu :
1.
Motivasi
Adalah hal yang
diinginkan oleh pelaku perbuatan dengan maksud untuk mencapai tujuan.
2.
Tujuan Akhir
Adalah diwujudkannya
perbuatan yang dikehendaki secara bebas. Moralitas perbuatannya ada dalam
kehendak perbuatan itu menjadi objek perhatia kehendak, artinya memang
dikehendaki oleh pelakunya.
3.
Lingkungan Perbuatan
Adalah segala sesuatu yang
secara aksidental melindungi atau mewarnai perbuatan. Termsuk dalam pengertian
lingkungan perbuatan meliputi :
a. Manusia
yang terlibat;
b. Kwalitas
dan Kwantitas perbuatan;
c. Cara,
waktu, tempat dilakukan perbuatan;
d. Frekwensi
perbuata.
Berttitk
tolak dari pendapat mengenai pengertian lingkungan perbuatan di atas, maka
keempat komponen tersebut sangat tepat. Sebab tidak dipungkiri bahwa
keterlibatan, kwalitas dan kwantitas, frekwensi serta cara, waktu dan tempat
dilakukannya perbuatan merupakn titik kunci manusia melakukan aktifitasnya. Dalam
artian, keempat komponen merupakan faktor pendorong motivasi diri manusia untuk
melakukan perbuatan yang bermuara pada tumpuan moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar